Jumat, 18 Agustus 2017

Kenaifan

Gue sering berkhayal naif: mau hidup tenang.

Mau hidup yang kaya gini: tinggal di tempat yang nyaman, dengan keluarga gue, mungkin agak jauh dari jalan utama, supaya polusi atau bising ga mampir-mampir banget ke rumah. Kalau perlu di desa juga gapapa, asal segala kebutuhan bisa dipenuhin. Pagi nganter istri gue ke pasar, naik vespa atau si gladys (motor gl gue) juga tetep serasi sih. Tiap weekend gue dirumah, nemenin istri belajar masakan baru, tentu gue sebagai tumbal pertamanya. Ga masalah lah, asal kita rukun.

Setiap pagi, ketika gue dan istri berangkat kerja bareng, kita saling bahas masa depan: "udah sebanyak apa tabungan kita ya?". Sebelum kita pulang kerja, gue dan dia mampir di sebuah kedai, makan ditemenin ramainya orang dan pengamen yang saut-sautan. Sesekali makan di luar gapapalah. Beberapa tahun kemudian, setelah perhitungan kita matang, barulah anggota keluarga kita bertambah. Sesering mungkin kita ajak mereka ngobrol, atau kalo ada rejeki, kita ajak ketemu kakek neneknya di jogja dan bandung. Mungkin ketika mereka selesai ujian, kita bergantian mengambil rapornya. Kalau bagus, kita apresiasi. Kalau jelek, tentu kita apresiasi. Usaha yang tidak dihargai itu ga enak loh.
Dilingkungan rumah, tidak perlu jadi orang yang mencolok, cukup jadi pemeran dibalik layar yang bisa diandalkan orang-orang aja juga udah cukup. Ekonomi kita cukup untuk keluarga dan bisa bersedekah, membanty kesulitan kerabat. Sebatas itu aja cukup.

Nantinya, Sampai tua, kita tumbuh bersama, sampai anak-anak kita menulis hal yang sama tentang impiannya, seperti ketika ayahnya menulis di blog ini. Hidup tenang, jauh dari masalah yang berkelit
, Segala dimudahkan. Sampai tua, rasanya ingin selama itu kita hidup tentram. Tapi, bukankah begitu naif impian seorang anak, suami, dan juga ayah yang seperti ini?

0 komentar:

Posting Komentar

Sebagai manusia normal, gue masih banyak kekurangan. apabila ada kritik ataupun saran silahkan disampaikan disini. dengan catatan: harus sopan :)