Senin, 08 Februari 2016

Harapan dari balik Jendela



Gue terbangun oleh suara klakson mobil. Ya, gue ketiduran didalam bus kota. Tidur ngebuat waktu terasa lebih cepat. Sementara hati masih ingin lama di kota ini, di kampung halaman nyokap, Di kota Bandung yang mendung sore ini.

Akhirnya gue memutuskan untuk pergi hari minggu ke Bandung. Gue rindu kota ini, gue rindu dinginnya, gue rindu seseorang. Jauh dari ketiga alasan rindu itu, gue rindu duduk didekat jendela bus. Pergi sendiri, melihat kemacetan dari dalam bus dingin, lengkap dengan bintik-bintik air bekas hujan yang menempel di kaca bus. Rasanya tenang. Gue rindu ketenangan yang terbalut suasana romantis seperti ini. Melakukan hal ini ngebuat kita merasa sudah dewasa. Ketika gue mulai merasa seperti anak-anak, gue perlu ngelakuin hal yang bisa mengigatkan kalau tubuh gue sudah dewasa seperti ini. Gue mengeluarkan handphone dan mulai mengetik postingan ini.



Senin sore bis yang gue tumpangi mulai berjalan melawan arus rindu. Membawa gue pulang dengan kecepatan yang mungkin belum lebih dari 30 kilometer per jam. Ya, dijalan cukup padat. Disaat yang sama, awan mulai berkumpul lagi, menggelap. Ada hal yang begitu terasa saat ini. Mungkin tentang harapan, atau tentang ketakutan.

Perjalanan pulang ini jauh lebih tenang dari perjalanan berangkat. Setidaknya gue bisa duduk lebih tenang. Beda banget dengan perjalanan berangkat. Di depan gue saat itu ada pasangan yang lagi puber mungkin, mesra-mesraan. entah maksudnya apa, mau berkembang biak mungkin. Sekarang, gue hanya ditemani suara atap bus yang bergetar, suara mesin yang menderu, juga obrolan-obrolan kecil penumpang lain yang belum tidur. Suasana ini melengkapi apa yang gue ingin, melengkapi momen yang pas untuk berpikir.

Lagu di handphone tengah memutar 'high and dry'-nya Radiohead. Menemani gue yang tengah rindu seseorang. Seseorang yang sangat gue hormati. Hubungan kami rasanya sangat sulit. Lebih sulit dari main Piano Tiles di handphone. Ada ketakutan. Ya, ada kecemasan. Ketika kita mencintai orang yang begitu kita hormati, kita akan sangat takut kehilangannya. Gue takut ada yang berubah, setidaknya untuk saat ini gue sangat takut. Mengingatnya selalu berhasil mengundang cemas diantara rasa takut itu.

Entah kenapa, gue sangat berharap mobil yang seedang gue tumpangi bisa berpapasan dengan mobil yang mungkin Sedang ia tumpangi, walau dalam kecepatan lebih dari 30 kilometer per jam sekalipun. Gue berharap bisa melihatnya di balik jendela sebuah mobil yang ia tumpangi, ia tidak perlu melihat balik, karena jauh lebih baik kalau kita tidak saling bertatapan dulu.

Pernah denger kalau nguap itu menular? Yes, gue ga percaya. Tapi ternyata itu menular ke gue, ketika seorang bapak di sebelah menguap untuk yang kesekian kalinya. Di antara deru mesin yang dipacu di Kilometer 118 Cipularang, gue menyandarkan kepala, mulai memejamkan mata, sambil berharap semuanya baik-baik saja. Berharap ketika sebuah klakson membangunkan gue lagi nanti, gue bisa lebih pintar dalam menanggapi semuanya. Berharap Kota Bekasi adalah rumah yang tepat untuk memulai semangat yang baru dengannya. Di Bekasi, di kota kita berdua.

Ya, semua ini tentang harapan.
Tentang kebersamaan yang selalu muncul di dalam doa.
Kita tidak bisa berharap dia bisa bersama kita karena kita merasa akan ada hal baik yang terjadi.
Mungkin jauh lebih bijaksana, jika kita mulai berpikir: ketika kita bisa bersama, kita berharap kita akan baik-baik saja.

Gue membuka mata sebentar, Langit sore mulai memudar, bertukar warna dengan malam. Di luar jendela terlihat padat mobil-mobil, kebanyakan plat B. Lampu-lampu mulai menyala. Gue kembali menguap dan memutuskan benar-benar berusaha tidur.

Dalam hati, sebelum tidur, ditengah dinginnya suhu, Gue sungguh berharap kita bisa baik-baik saja.

0 komentar:

Posting Komentar

Sebagai manusia normal, gue masih banyak kekurangan. apabila ada kritik ataupun saran silahkan disampaikan disini. dengan catatan: harus sopan :)